Selasa, 30 Agustus 2011

ESTETIKA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL



Kata desain berasal dari bahasa Italia designo yang artinya gambar. Desain merupakan susunan garis atau bentuk yang menyempurnakan kerja “seni” dengan memberikan penekanan khusus pada aspek proporsi, struktur, gerak, dan keindahan secara terpadu (Encyclopedia Britanica, 1956: 259).


Berdasarkan pengertian tersebut, bisa dipahami bahwa desain termasuk seni yang bergerak dalam lingkup gambar, tetapi kemudian dikembangkan lagi menjadi seni yang “diatur” sedemikian rupa melalui aspek-aspek gambarnya. Aspek tersebut adalah proporsi, struktur, gerak, dan keindahan. Aspek yang terakhir adalah keindahan dimana ilmu yang mempelajari keindahan disebut estetika (Anwar, 1980:5). Dari sini disimpulkan bahwa estetika termasuk ilmu yang mempelajari mengenai salah satu aspek dari desain yaitu keindahan. Jelas hal ini menunjukkan keterkaitan erat antara estetika atau ilmu yang mempelajari tentang keindahan dengan desain.

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mengembangkan bentuk bahasa komunikasi visual berupa pengolahan pesan pesan untuk tujuan sosial atau komersial, dari individu atau kelompok yang ditujukan kepada individu atau kelompok lainnya. Pesan dapat berupa informasi produk, jasa atau gagasan yang disampaikan kepada target audience, dalam upaya peningkatan usaha penjualan, peningkatan citra dan publikasi program pemerintah. Pada prinsipnya desain komunikasi visual adalah perancangan untruk menyampaikan pola pikir dari penyampaian pesan kepada penerima pesan, berupa bentuk visual yang komunikatif, efektif, efisien dan tepat. terpola dan terpadu serta estetis, melalui media tertentu sehingga dapat mengubah sikap positif sasaran. Elemen desain komunikasi visual adalah gambar/ foto, huruf, warna dan tata letak dalam berbagai media. baik media cetak, massa, elektronika maupun audio visual (www.cybermediacollege.net.id).

Dalam desain komunikasi visual, terdapat 2 prinsip yang menjadi landasannya. Yang pertama, adalah ilmu ini tujuan utamanya adalah penyampaian pesan baik sosial atau komersial kepada kelompok tertentu. Prinsip pertama ini merupakan prinsip yang bisa dipahami sebagai faktor internal yang berupa nilai-nilai atau tujuan tertentu. Prinsip yang kedua adalah penyampaian pesan tersebut dicapai dengan cara-cara visual atau gambar. Prinsip yang kedua inilah yang merupakan prinsip dimana faktor keindahan atau ilmu estetika diperlukan.

Susunan gambar yang dibuat tentu saja harus diatur sedemikian rupa supaya susunan gambar tersebut selain indah juga harus dapat menyampaikan maksud si pembuat untuk menyampaikan pesan-pesan tadi. Dengan kata lain, penyusunan gambar dibuat dengan mempertimbangkan banyak faktor selain indah saja. Seperti yang telah dijelaskan di awal essay ini, seni gambar yang dikembangkan lagi menjadi seni gambar yang “diatur” disebut desain. Kegiatan desain dalam ilmu desain komunikasi visual harus mempertimbangkan beberapa faktor, misalnya selain indah atau estetis, desainer juga harus mempertimbangkan apakah karya desainnya akan disukai oleh obyek dari pesan yang dibawa karya desain tersebut.

Sebagai contoh, misalnya desainer akan membuat sebuah desain untuk iklan produk susu bayi, dengan tujuan komersil agar produk tersebut laku sebanyak mungkin di pasaran. Siapa pasarnya? Tentu saja orang tua yang dispesifikkan pada sang ibu, karena orang tua atau ibulah yang menentukan susu apa yang paling “pantas” diberikan untuk anaknya yang masih bayi, dan bukan bayinya yang menentukan. Desainer harus memiliki data tentang hal-hal apa saja yang diharapkan orang tua dalam memilih susu bayi. Kemudian unsur-unsur visual yang seperti apa yang umumnya disukai oleh mereka, seperti warna apa, proporsi seperti apa, dan lain sebagainya. Data-data inilah yang nantinya digunakan desainer dalam mendesain karya visual mereka agar dapat menjadi karya yang efektif dan estetis. Selain faktor-faktor diatas, sebenarnya masih banyak faktor-faktor lain yang harus ikut dipertimbangkan desainer. Seperti timing atau waktu peluncuran iklan, kepraktisan karya desain dari segi ekonomis, dan lain sebagainya.

Unsur estetis sebenarnya adalah landasan bagi visualisasi desain tersebut agar dapat secara efektif menyampaikan pesan-pesannya. Bagaimanapun atau siapapun target audiens dari karya desain tersebut, tetap harus berada di payung besar estetika. Karena pada umumnya, setiap orang pasti suka dan tertarik dengan sesuatu yang indah. Bagaimana kriteria keindahan secara lebih spesifik masing-masing kelompok tersebut, nantinya akan dipelajari lagi oleh sang desainer.

Unsur estetis ini sebenarnya mungkin merupakan satu-satunya unsur yang berkembang pesat di desain komunikasi visual. Dalam perjalanan waktu, faktor komunikasi tidak mengalami begitu banyak perubahan. Misalnya, sebuah kalender tetap difungsikan untuk menyampaikan pesan tanggal, sebuah iklan produk komersial tetap digunakan untuk menggugah motivasi membeli atau melakukan kegiatan tertentu. Perubahan yang paling drastis sesungguhnya sangat terlihat di wilayah estetika visual. Estetika sebagai ‘segala sesuatu yang berhubungan dengan keindahan, dan penginderaan’ ini sudah sejak lama menjadi senjata utama dari proses komunikasi massal.

Rekayasa estetika, menjadi bagian penting, bahkan dianjurkan bagi setiap organisasi dalam mengkomunikasikan diri dan produknya. Dalam rekayasa estetika kita bisa temukan pola-pola dalam memotivasi seseorang untuk melakukan apa yang diinginkan proses komunikasi melalui sensasi sensasi inderawi. Rekayasa esetetika, seperti yang dikatakan Bernd Schmitt dan Alex Simonson dalam bukunya Marketing Aesthetic, adalah cara-cara untuk memicu munculnya nilai-nilai konsumer di benak konsumen, yang hanya akan muncul bila kedahagaan konsumen akan estetika dapat terpuaskan. Dalam perkembangannya, unsur estetika ini berkembang menjadi sesuatu yang membuat kita terpana melalui kecanggihan teknologi. Unsur ini didukung oleh alat hasil perkembangan teknologi yang disebut dengan komputer. Melalui alat ini, keindahan visual yang pada awalnya dahulu akan terasa begitu sulitnya dicapai, bisa dengan mudah dibuat dengan bantuan komputer. Bahkan bisa lebih lagi. Sensasi-sensasi permukaan ini membuat kita cenderung tidak lagi tertarik kepada makna pesan yang sifatnya internal atau nilai-nilai ideologis.

Sebagian besar konsumen kemudian akan menilai keberhasilannya hanya berdasarkan ‘indah’ atau ‘tidak indah’nya sebuah permukaan visual disusun. Demikian pula sang kreator. Alih-alih berusaha membuat metafora atau permainan makna internal, sang desainer berpesta dengan efek, Clip-Art, huruf, dan efek-efek yang sudah tersiapkan. Gejala ini terutama terjadi pada karya-karya desain yang diperuntukkan dan mungkin dibuat orang-orang di negara yang masih haus akan keindahan efek-efek yang bisa diciptakan dengan bantuan komputer. Karya-karya tersebut cenderung menampilkan visualisasi yang penuh dengan keindahan warna, imajinasi, dan efek-efek yang akan cukup sulit diciptakan melalui kuas dan cat warna saja, tanpa memfokuskan pada dampak atau tujuan utama.

Meskipun ada pula beberapa karya desain yang sudah tidak sibuk bermain dengan segala efek komputer dan mulai menunjukkan fokusnya pada bagaimana dampak yang diharapkan. Contohnya, desain iklan rokok A Mild dan mungkin juga beberapa produk rokok lain, sudah tidak “boros” dengan berbagai keindahan efek yang bisa diciptakan oleh komputer. Warna background putih polos dan luas, kemudian meletakkan jam weker dengan palu dan beberapa kata dengan bentuk font yang sederhana, adalah salah satu contoh desain untuk produk rokok A Mild. Sekilas kita akan melihat suguhan visual yang sederhana, dimana hampir semua desainer bisa membuat bentuk visual seperti itu dengan mudahnya bahkan melalui kuas dan cat warna saja.

Apabila kita melihat beberapa hal yang menyertainya, yaitu bahwa produk yang diiklankan adalah produk rokok A Mild yang notabene merupakan salah satu produk yang paling banyak digemari oleh pemuda di Indonesia, dan bagaimana iklan tersebut bisa bertahan begitu lama dengan beberapa parade iklannya yang sejenis, maka bisa kita simpulkan bahwa iklan dengan visualisasi sederhana tadi cukup efektif atau tepat sasaran. Bagaimana bisa? Lha wong sederhana gitu? Bukti sederhana yang telah disebutkan tadi telah membuktikan bahwa hal tersebut bisa, selama masih dalam lingkup keilmuan estetika. Meski sederhana, tidak berarti karya tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai karya desain. Komposisinya seimbang, pemilihan warna sesuai dengan unsur yang lain, emphasis tercapai, bahkan pemilihan bentuk hurufnya meski sederhana tetapi mudah dibaca dan peletakkannya sesuai dengan konposisi keseluruhan.

Dalam komunikasi dan kreasi, yang penting adalah dampaknya. Bagaimana penerima pesan menerima dan melakukan tujuan-tujuan yang dikehendaki tentulah tidak tergantung dari seberapa banyak special effect yang dipakai, atau berapa jam yang dihabiskan waktu didepan komputer. Komunikator atau kreator adalah orang yang berusaha mengambil intisari dari keteraturan, dan chaos, dari kebebasan dan nihilisme, dan berusaha berkonsentrasi pada dampaknya (Papanek dalam Ilmansyah, 2004:5).

Dalam dunia desain komunikasi visual, yang terpenting adalah desainer harus memegang dua prinsip utama yang telah disebutkan di atas tadi. Ia harus memastikan dua prinsip tersebut berjalan seiring dan tidak membuat yang satu lebih penting dari yang lain. Pesan harus disampaikan melalui visual yang tepat. Jadi, sebenarnya sebanyak apapun efek komputer yang digunakan, selama pesan bisa tersampaikan dengan tepat dan efektif, maka hal itu sah-sah saja. Jangan sampai desainer terlalu fokus dan asyik pada visual, sedangkan visual tersebut dapat mengurangi keefektifan penyampaian pesan bahkan tidak efektif sama sekali sehingga visual tersebut tidak menjalankan fungsinya sebagai penyampai pesan. Keindahan hanyalah digunakan sebagai alat untuk dapat menyampaikan pesan secara efektif. Apabila tidak efektif, maka keindahan tersebut tidak dapat digunakan. Di sinilah letak estetika dalam dunia desain komunikasi visual.


Referensi:

www.cybermediacollege.net.id/ Desain Komunikasi Visual/ diakses tanggal 17 April 2004.

Anwar L.Ph., Wadjiz, 1980, Filsafat Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta.

Encyclopedia Britannica. Volume 7. 1956. Encyclopedia Britannica Inc. USA, Hlm 259.

Ilmansyah, Fahmi, Desain Grafis Kita Diantara Kungkungan Proses Perancangan Berbasis Komputer, DKV FDS, 2004.

Papanek, Victor, The Green Imperative, Thames and Hudson, London, 1995.

Schmitt, Bernd, dan Alex Simonson, Marketing Aesthetics, Free Press, New York, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar