Selasa, 30 Agustus 2011

SEJARAH FILM DUNIA


Asal mula film yang telah dikenal saat ini merupakan perkembangan kelanjutan dari fotografi. Pengetahuan paling awal mengenai fotografi dimulai ketika Roger Bacon menemukan kamera obscura (diambil dari bahasa latin yang berarti kamar gelap) sekitar sebelum tahun 1300. Tulisan awal mengenai kamera obscura yang diakui adalah tulisan dari Leonardo da Vinci. Pada saat itu, seorang seniman berkebangsaan Venesia yang bernama Daniel Barbaro menyebutkan penggunaan kamera obscura untuk melukis secara perspektif. Kamera obscura terdiri dari sebuah satu kotak atau ruangan yang gelap dimana terdapat satu lubang kecil pada satu sisi kotak sehingga sinar dari luar dapat masuk dan menyinari sisi kotak bagian dalam yang lain. Cahaya bersinar membentuk obyek diluar kotak atau ruangan, masuk melalui lubang kecil dan menciptakan sebuah bayangan berbentuk obyek di luar tadi. Kemudian pelukis yang berada di dalam ruangan gelap tersebut melukis obyek berdasarkan bayangan yang terlihat pada sisi kotak atau ruangan dimana sinar tadi masuk dan terletak. Konsep dari kamera obscura ini merupakan alat sukses pertama yang dapat mengambil sebuah gambar dari obyek dan memantulkannya pada layar. Perpindahan gambar semacam ini merupakan konsep awal dari alat pengambil gambar abadi yang disebut fotografi. Konsep terpenting dari teknik fotografi yang kedua adalah layar peka cahaya yang sesuai untuk membuat bayangan gambar yang jatuh tadi sehingga dapat bertahan lama tanpa perlu melukisnya.

Penemuan alat pengambil gambar abadi pertama kali dilakukan oleh Joseph Nicephore Niepce dari Perancis pada tahun 1826 (Leggat, www.rleggat.com). Ia berhasil membuat campuran dengan perak untuk menciptakan gambar pada sebuah lempengan timah tebal yang telah disinari selama beberapa jam. Sekaligus mengunjungi saudaranya di Inggris, pada tahun 1827, ia meminta izin untuk menunjukkan beberapa gambar hasil dari alat ciptaannya kepada Royal Society tetapi ia akhirnya ditolak karena tidak bersedia memaparkan rahasia proses pembuatannya. Kemudian pada tahun 1829 ia mengadakan kerjasama dengan Louis Jacques Monde Daguerre, penemu Daguerreotype, untuk melanjutkan eksperimen penyempurnaan alat pembuat gambar permanen.

Perkembangan menakjubkan selanjutnya dari fotografi adalah gambar bergerak (motion picture). (Boucher, 1959:288) Gambar bergerak yang lebih dikenal dengan istilah film adalah suatu teknik tertentu dalam merekam gambar dengan teknik fotografi dan berdasarkan sebuah fenomena psikologis dari mata manusia yang disebut the persistence of vision (ketetapan penglihatan). Fenomena ini merupakan fenomena dimana sebuah gambar yang ditangkap oleh retina selama sekitar sepersepuluh detik akan direkam selama beberapa saat lamanya. Lamanya gambar tersebut terekam di mata manusia tergantung pada beberapa faktor, terutama intensitas cahaya dan warna dari gambar tersebut. Penyempurnaan-penyempurnaan di bidang fotografi yang pada akhirnya berkembang pesat telah melahirkan konsep gambar hidup tersebut. Ada dua nama yang sangat penting dalam sejarah perkembangan gambar hidup yang selanjutnya akan disebut dengan istilah film. Mereka adalah Thomas Alfa Edison dan Lumiere bersaudara.

Thomas Alfa Edison adalah ilmuwan berkebangsaan Amerika Serikat yang lahir pada tahun 1847 dan meninggal tahun 1931 (www.inventors.about.com). Ia merupakan ilmuwan yang terkenal dengan penemuan lampu listrik dan fonograf (phonograph) atau piringan hitam. Edison dengan stafnya berhasil menciptakan sebuah alat untuk merekam dan memproduksi gambar yang disebut kinetoskop (kinetoscope), berasal dari bahasa Yunani “kineto” yang berarti gerakan dan “scopos” yang berarti melihat. Ide tersebut dipatenkan pada tanggal 17 Oktober 1988 untuk penciptaan sebuah alat perekam gambar bergerak seperti pada fonograf merekam suara. Sedangkan paten untuk kinetograph (kamera) dan kinetoscope (alat untuk melihat) diberikan pada tanggal 24 Agustus 1891. Perekaman pertama kinetoskop adalah adegan dimana seorang pegawai Edison yang bernama Fred Ott berpura-pura bersin. Edison membangun studio film pertama di New Jersey dan memulai pertunjukan film pertamanya pada tanggal 23 April 1896 di kota New York, Amerika Serikat. Pertunjukan ini segera populer di Amerika Serikat hingga akhirnya menyebar ke luar negeri, terutama di negara-negara Eropa.


Antoine Lumiere dan kedua anaknya memiliki pabrik material fotografi di Lyons, Perancis (www.terrace.qld.edu.au). Setelah menyaksikan pertunjukan kinetoskop Edison saat musim panas tahun 1894, Antoine tertarik dan menyarankan kepada kedua anaknya Louis dan Auguste untuk mengembangkan alat kinetoskop milik Edison tersebut. (Sumarno, 1996:3) Mesin hasil pengembangan mereka dipatenkan di bulan Februari tahun 1895 atas nama Louis dan Auguste Lumiere atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lumiere bersaudara. Mereka merancang sebuah alat yang mengkombinasikan antara kamera, alat memproduksi dan memproses film, serta proyektor menjadi satu dan disebut sinematograf (cinematographe). Keunggulan mesin ini terletak pada adanya mekanisme gerakan tersendat (intermittent movement) yang mirip dengan mekanisme mesin jahit. Mekanisme ini memungkinkan setiap frame dari film yang diputar akan berhenti sesaat untuk disinari lampu proyektor sehingga gambar tidak akan tampak berkedip-kedip. Untuk proyektor, mesinnya dipasang menggunakan tiang kayu dengan lampu elektrik yang dibuat khusus oleh Molteni, ahli lampu. Pertunjukan perdana dilaksanakan pada tanggal 22 Maret kepada The Society for the Promotion Industry, dengan judul “workers leaving the Lumiere factory” (pekerja meninggalkan pabrik Lumiere) yang diambil oleh Louis.

TIPS DESAIN KARAKTER

Mendesain sebuah karakter dapat menjadi satu hal yang bisa menghambat, karena meskipun banyak sekali karakter-karakter yang telah sering kita lihat baik melalui film kartun maupun iklan terlihat sederhana, tetapi biasanya kesederhanaan itu adalah hasil dari proses riset dan desain yang sangat panjang dan melelahkan.


Berikut adalah tips hal-hal yang perlu anda pertimbangkan dalam mendesain sebuah karakter:

1. Riset dan evaluasi.

Merupakan hal yang sangat membantu apabila kita mencoba menganalisa mengapa beberapa karakter dapat berhasil atau tidak. Banyak sekali karakter-karakter yang bisa kita pelajari dimana-mana, baik itu di iklan televisi, bungkus sereal atau makanan ringan, film kartun, maskot acara-acara khusus, tokoh animasi di website dan lain sebagainya. Pelajari karakter-karakter tersebut, seperti misalnya mengapa anda menyukai karakter tersebut.

2. Desain dan perencanaan.

Dimana karakter tersebut akan terlihat dan media apa? Hal ini juga akan menentukan bagaimana anda akan membuat karakter tersebut. Sebagai contoh, jika karakter tersebut adalah untuk media mobile phone, maka desain tersebut tidak menuntut adanya detail/atribut yang rumit karena audien tidak akan memperhatikan/terlihat.

3. Target audien.

Cari tahu siapa target audien anda. Sebagai contoh, karakter yang dibuat untuk anak kecil biasanya dibuat dengan desain-desain dengan bentuk sederhana dan warna-warna cerah. Jika anda bekerja dengan klien, pada umumnya karakter dari target audien telah ditetapkan sebelumnya. Klien biasanya telah memiliki keinginan-keinginannya sendiri yang spesifik tetapi desainer tetap harus memberikan kewajiban profesionalnya. Artinya, eksplorasi desain anda harus tetap berada didalam pagar keinginan / ketetapan klien.

4. Visual impact.

Apakah anda mendesain karakter monyet, robot ataupun monster, bisa dipastikan bahwa sebelumnya telah ada orang yang telah atau sedang mendesain berdasarkan karakter yang sama. Karakter yang anda buat harus memiliki karakteristik yang kuat, unik dan menarik perhatian orang. Sebagai contoh, saat Matt Groenin menciptakan karakter The Simpson, dia tahu bahwa dia harus menawarkan sesuatu yang cukup berbeda kepada audiens. Dia melakukan riset dan menemukan bahwa ternyata saat penonton TV sedang surfing dengan remote control, karakter dengan warna kuning terang biasanya lebih menarik perhatian dan membuat penonton berhenti menekan tombol remote.

5. Tipe garis (lines)

Garis yang anda buat pada karakter juga menentukan sifat-sifat karakter anda. Contohnya Garis tipis, genap (bersambung), soft (warna) dan garis bulat memberikan kecenderungan karakter lucu / cute. Garis yang jelas, tidak menentu, garis kasar memberikan kecenderungan karakter jahat dsb.

6. Exaggerated

Exaggeration adalah melebih-lebihkan. Exaggeration adalah kunci dari kartun dan membuat kepribadian sebuah karakter keluar dan menonjol. Sebagai contoh, apabila karakter yang anda buat adalah tokoh yang kuat, maka jangan hanya membuat sepasang lengan kekar dengan ukuran normal, tapi buatlah lengan dan bahu serta dada yang sangat besar bahkan hingga lima kali ukuran normal.

7. Warna

Warna dapat membantu mengkomunikasikan kepribadian sebuah karakter. Sebagai contoh, warna gelap seperti hitam, ungu gelap atau abu-abu mengesankan bandit, penjahat atau orang-orang yang ”kelam”. Warna-warna terang seperti putih, biru cerah, merah muda atau kuning mengesankan kebaikan, lugu, atau ceria.

8. Penambahan aksesoris

Kostum dan aksesoris dapat membantu mengkomunikasikan kepribadian sebuah karakter. Aksesoris tambahan seperti misalnya kakatua di bahu atau tongkat sihir di tangan penyihir sangat penting sebagai penegasan karakter tokoh.

9. Tiga dimensi

Mendesain sebuah karakter terdiri dari desain dari berbagai sudut (angle). Bukan hanya tampak depan saja (flat), tetapi anda harus mendesain bagaimana sebuah karakter terlihat dari samping, belakang, bahkan atas dan bawah. Misalnya karakter dengan perut yang buncit sekali akan terlihat jelas seberapa buncit perutnya apabila tampak dari samping.

10. Menampilkan kepribadian

Membuat sebuah desain karakter bukan berarti anda harus membuat karakter yang tampan, cantik atau tampak sempurna.Tetapi lebih pada apakah karakter tersebut benar-benar menampilkan kepribadian yang diinginkan.

11. Express yourself

Untuk menghidupkan karakter ciptaan anda, anda juga harus mendesain bagaimana karakter tersebut bereaksi dan menampilkan emosinya. Baik itu sedih, senang, marah, terkejut ataupun bengong. Rangkaian ekspresi tersebut akan membuat karakter anda lebih hidup dan seolah-olah memiliki nyawa sehingga audiens akan dapat lebih bisa merasakan karakter anda.

12. Membangun cerita dasar

Karakter anda akan lebih hidup apabila ia memiliki sejarah. Sebuah kisah dasar misalnya darimana ia berasal, siapa orangtuanya, apa kesukaannya, dsb. Hal ini mungkin akan berguna apabila anda melakukan pengembangan karakter anda menjadi sebuah komik atau film kartun.

13. Background

Penciptaan sebuah karakter tentunya anda juga harus menciptakan dunia dimana ia tinggal. Dunia The Simpson’s family tinggal tentunya berbeda dengan dunia dimana The Power Puff Girl tinggal,dsb.

14. Feedback

Ask other people! Tunjukkan karakter anda pada mereka dan harapan-harapan anda mengenai reaksi mereka. Cari tahu apakah karakter yang anda buat memang telah mengkomunikasikan tujuan dan latar belakang anda menciptakan karakter tersebut.

DESAIN VISUAL YANG KOMUNIKATIF & ARTISTIK

Desain grafis dapat diartikan sebagai proses menata berbagai komponen gambar dan teks dalam sebuah komposisi yang memiliki fungsi dan artistik sehingga komunikatif dan efektif. Sebuah desain memiliki FUNGSI (use) sehingga setiap desain yang kita buat, baik itu desain poster, kover kaset, kover buku, lay out majalah dsb harus dapat memenuhi fungsinya masing-masing barulah dapat dikatakan sebagai sebuah desain yang baik. Setiap fungsi desain pada umumnya semua berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia atau pemecah masalah manusia, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam menciptakan sebuah desain yang BAIK adalah melalui estetika (keindahan). Dalam hal ini kita mengartikannya sebagai unsur artistik adalah pengemas sebuah desain grafis agar lebih humanis.

Mengapa estetika? Anda harus mengerti bahwa estetika adalah ilmu mengenai keindahan, dan ilmu ini mempelajari setiap aspek yang tertua dalam kehidupan yaitu alam dan penciptaannya. Bagaimana suatu keindahan terlihat pada setiap ciptaan Tuhan di dunia ini, mulai dari manusia itu sendiri, gunung, bunga, hewan, langit, matahari dan sebagainya. Konsep-konsep keindahan disusun dan menjadi satu bidang keilmuan yang khusus mempelajari tentang estetika, dimana dari sini lahirlah konsep seni. Manusia memiliki definisi global mengenai konsep-konsep keindahan yang diambil dari lingkungan alam dan dirinya sendiri. Unsur-unsur artistik yang terkonsep berdasarkan teori estetika tersebut diterapkan hingga membentuk persepsi humanis yang biasa disebut indah, bagus, menakjubkan, menarik dan semacamnya, dimana hal inilah yang nantinya akan mendekatkan atau menarik manusia pada desain yang kita buat. Singkatnya, tampilan yang artistik akan lebih menarik manusia daripada yang tidak artistik.

Setiap desain mutlak memiliki fungsi atau tujuan. Sebagai contoh sebuah poster anti narkoba dibuat dengan tujuan umum untuk mengajak masyarakat untuk menghindari narkoba. Poster ini harus bisa minimal menyampaikan pesan tersebut (informatif) dengan tepat, kemudian mampu menggerakkan audience untuk membenarkan hal tersebut, dan menggerakkan audience untuk melakukan sesuatu berdasarkan iklan tersebut. Penyajian poster tersebut secara grafis harus didesain dengan matang, memperhatikan segala aspek audiensnya, dan disajikan dengan artistik atau menarik. Sehingga desainer dapat meminimalisir kemungkinan negative audiens tidak mengerti dan tidak merespon poster tersebut.

Segala hal yang kita butuhkan untuk mendesain dengan baik adalah RISET. Pengembangan diawali dengan mengidentifikasikan target pasar dan motif audien, kemudian baru membuat 5 keputusan utama dalam program periklanan dinamakan 5 M :

  • Mission (misi) yaitu tujuan dari periklanan.
  • Money (uang) yaitu besarnya pengeluaran untuk periklanan.
  • Message (pesan) yaitu pesan apa yang akan disampaikan.
  • Media (media) yaitu media apa yang seharusnya digunakan.
  • Measurement (pengukuran) yaitu bagaimana seharusnya hasil periklanan itu dievaluasi.
Setiap desain selalu memiliki target pasar dan motifnya. Apakah kita membuat sebuah poster untuk anak-anak? Usia berapa? Dimana mereka tinggal? Bagaimana adat kebudayaan dan kebiasaan masyarakat tersebut? Apa yang mereka gemari? Apa yang mereka tidak suka? Dan masih banyak pertanyaan riset dan penelitian untuk mengidentifikasikan audiens sehingga kita akan mengenal mereka dengan baik dan bisa memenuhi apa yang mereka butuhkan dalam kaitannya dengan tujuan pembuatan desain kita. Hal ini akan menciptakan sebuah desain yang total, efektif dan tentunya lebih efisien.

ESTETIKA AGAMA & INFORMASI



Estetika Agama

Dalam Sachari (1989: 55) disebutkan bahwa dimensi estetika terbagi menjadi 5 kategori, sebagai berikut:

1. Estetika Murni, yaitu terdiri dari ungkapan estetik dan kesadaran estetik.

2. Estetika Terapan, yaitu terdiri dari unsur karya seni dan unsur desain.

3. Estetika Massa, yaitu terdiri dari orientasi selera dan orientasi gaya hidup.

4. Estetika Agama, yaitu unsur kesempurnaan ibadat dan unsur harapan surga.

5. Estetika Alam, yaitu fenomena yang menggetarkan dan realitas yang menakjubkan

Dimensi estetika yang keempat disebutkan tentang estetika agama. Estetika ini menurut Sachari merupakan unsur kesempurnaan ibadat dan harapan surga. Menurut persepsi saya, yang dimaksud Sachari adalah bahwa sesuatu yang disebut keindahan dalam agama adalah ketika umatnya melaksanakan ibadah dengan sempurna untuk mencapai janji imbalan surga. Saat berada dalam keadaan keimanan yang tertinggi itulah yang disebut dalam agama sebagai sesuatu yang indah. Tiap-tiap agama memiliki aturan-aturan dalam kitab sucinya masing-masing, dan keindahan diukur melalui hal ini. Meski demikian, pada dasarnya setiap agama sebenarnya memiliki satu inti ajaran yang sama, yaitu sama-sama mengajarkan kebajikan dan menghindarkan kejelekan. Untuk hal ini, saya setuju dengan pendapat Sachari bahwa ketika tingkat keimanan seseorang dalam kondisi yang tinggi, maka hal tersebut patut disebut indah.

Dari pengertian keindahan tersebut, mungkin dapat kita tarik garis yang sama dengan teori keindahan subyektif yang dikemukakan Kant (Anwar, 1980: 46). Teori yang mengemukakan bahwa keindahan sesuatu adalah bersifat subyektif atau tergantung pada sifat sesuatu tersebut. Jadi, keindahan bukan berasal dari murni obyek tersebut, melainkan pada sifat yang dimiliki obyek tersebut. Obyek yang dimaksud dalam estetika agama adalah umat, dan sifat dari umat dapat diukur dari perilaku umat tersebut. Logikanya, setiap agama mengajarkan kebajikan, maka saat keimanan seorang umat berada pada titik puncaknya otomatis perilakunya selalu memancarkan kebajikan.

Ada satu topik lagi mengenai estetika dalam agama yang akan kita bahas. Karena sudut pandang pembahasan essay kali ini adalah pendapat saya pribadi tentang astetika agama dengan tinjauan tambahan dari pendapat-pendapat yang telah ada, maka kali ini merupakan tinjauan yang murni dari apa yang saya pikirkan. Pendapat Sachari diatas tentang estetika agama tidak menyinggung mengenai karya seni dalam agama. Padahal apabila beliau juga menyebutkan bahwa karya seni juga termasuk bidang lingkup estetika, maka tidak seharusnya karya seni dalam agama diacuhkan atau mungkin disama ratakan. Kita tahu sendiri bahwa tiap agama juga menempatkan karya seni sebagai bidang keilmuannya. Artinya, hampir setiap agama tidak pernah mengacuhkan ilmu kesenian. Saya akan memberikan 3 contoh bahwa karya seni selalu menjadi unsur dalam agama, dan terdapat perbedaan dalam ketiganya.

Dalam kegiatan penyembahan yang dilakukan dalam agama Budha, selalu diwajibkan untuk membuat karya patung dari Sidharta Gautama ketika telah menjadi Budha. Patung tersebut dibuat sebagus mungkin, besar, dengan hiasan-hiasan yang indah. Di Jawa, pada beberapa candi peninggalan kerajaan Budha juga dihiasi dengan ukir-ukiran relief yang mengisahkan tentang perjalanan Sidharta Gautama semasa hidupnya. Karya-karya ini merupakan karya seni yang indah dan tidak mungkin dilupakan begitu saja. Dalam agama Kristen juga dikenal karya-karya seni yang begitu indahnya. Lukisan-lukisan baik yang dilukis di tembok gereja maupun yang dibingkai, melukiskan Yesus Kristus, Bunda Maria, atau malaikat-malaikat. Karya patung Yesus dan Bunda Maria yang diletakkan dalam gereja. Kemudian kesenian lukisan kaca warna-warni di jendela gereja (saya lupa namanya).

Dalam agama Islam juga dikenal kaligrafi (ayat-ayat suci yang dilukis) dan ukir-ukiran dalam tembok atau pilar masjid. Mungkin kesemuanya itu merupakan kesenian yang secara tidak langsung mengakar pada agama melalui tempat dimana agama tersebut pertama kali turun atau berkembang. Tetapi hal tersebut kini sudah bias, artinya orang sudah tidak berpikir secara historis geografis dan kulturis lagi, melainkan kesenian tersebut sudah menjadi ciri. Bahkan agama tersebut juga memiliki aturan sendiri tentang karya seni. Karena saya muslim, mungkin saya akan memberi contoh tentang bagaimana agama Islam mengatur mengenai sebuah karya seni. Dalam agama Islam, diperbolehkan seni kaligrafi, seni musik Islami, atau ukir-ukiran. Tetapi semua itu ada batasannya. Yaitu tidak diperbolehkan membuat lukisan, patung atau ukiran yang menyerupai bentuk manusia atau binatang. Kemudian musik yang dianjurkan hanyalah musik yang memuji kebesaran Tuhan atau musik yang mengajarkan tentang kebaikan, selain hal tersebut tidak dianjurkan. Di sini dapat kita lihat bagaimana karya seni sendiri masih bisa dikelompokkan lagi melalui sudut pandang agama. Jadi, estetika dalam agama menurut saya sendiri bisa dikelompokkan menjadi keindahan sifat (subyektif), dan keindahan karya seni keagamaan, seperti patung, ukir-ukiran, kaligrafi dan sebagainya.

Estetika Informasi

Sachari (1989: 70) menyebutkan mengenai gelombang estetis baru yaitu estetika informasi. Jika jaman dahulu media untuk menikmati obyek estetis sangatlah terbatas, maka sekarang media obyek estetis tersebut telah dikembangkan oleh media informasi. Media saat ini yang paling populer contohnya adalah televisi, radio, fotografi, majalah, surat kabar, komputer, film, video, dan lain sebagainya. Komposisi-komposisi yang estetis dari belahan lain penjuru dunia dapat kita nikmati dalam sekejab, praktis dan ekonomis, sehingga dapat memperluas persepsi kita akan konsep keindahan secara global. Pada akhirnya ia akan menjadi unsur yang dapat mempengaruhi pola tingkah laku dalam pengambilan keputusan estetik dalam masyarakat luas.

Pernyataan dari Sachari di atas menurut saya kurang tepat, karena estetika informasi yang dimaksud adalah mengenai estetika yang terdapat pada media penyampaian informasi dan bukan pada informasi itu sendiri. Jadi mungkin Sachari hanyalah kurang tepat dalam menyebutkan nama estetika itu sendiri. Estetika Media Informasi mungkin saya rasa lebih tepat, karena estetika atau keindahan yang dimaksudkan adalah pada medianya.

Referensi:

Sachari, Agus, 1989, Estetika Terapan, NOVA, Bandung.

Anwar L.Ph., Wadjiz, 1980, Filsafat Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta.

ESTETIKA, ETIKA & LOGIKA

Estetika, etika, dan logika. Ketiga kata tersebut memiliki intonasi baca yang hampir serupa. Ketiganya sama-sama berakhiran “ka”. Tetapi ada hal lain yang jauh lebih penting yang menghubungkan ketiga kata tersebut. Hal tersebut adalah bahwa ketiga kata tersebut merupakan sebagian dari cabang ilmu filsafat. Antara lain disebutkan Sunoto (1985: 14) bahwa Kattsoff dalam bukunya Elements of Philosophy (1963) mengadakan penggolongan filsafat sebagai berikut:

1. Logika

2. Metodologi

3. Metafisika

4. Ontologi

5. Kosmologi

6. Epistemologi

7. Filsafat Biologi

8. Filsafat Psikologi

9. Filsafat Antropologi

10. Filsafat Sosiologi

11. Etika

12. Estetika

13. Filsafat Agama

Dari penjabaran singkat diatas dapat kita lihat bersama bahwa Kattsoff menyebutkan bahwa Logika (1), Etika (11), dan Estetika (12) adalah cabang dari ilmu filsafat. Dari sini mungkin akan menjadi titik tolak kita untuk mempelajari lebih dalam tentang keterkaitan antara ketiganya. Kesimpulan pertama kita setelah melihat penjabaran di atas adalah bahwa induk dari ketiganya adalah ilmu filsafat. Maka ada baiknya kita sedikit mengulas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu filsafat.

Sunoto (1985:2) menyebutkan pengertian filsafat sendiri. Dari arti katanya, kata filsafat dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani “philein” yang artinya cinta dan “sophia” yang artinya kebijaksanaan. Jadi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar atau sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati. Sedangkan definisi secara umum menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Dalam bukunya Sunoto juga banyak menyebutkan mengenai sifat-sifat dari filsafat, yaitu deskriptif, kritik atau analitik, evaluatik atau normatif, spekulatif, dan sistematik (1985: 4).

Istilah filsafat sendiri sebenarnya tidaklah asing kedengarannya. Istilah ini banyak digunakan dimana-mana sehingga banyak pula orang yang mengetahuinya. Meski banyak yang mendengar dan mengetahuinya, belum tentu istilah ini dipahami oleh banyak orang. Bahkan setiap orang yang mendengar istilah ini memiliki asosiasi yang bermacam-macam. Hal ini mungkin disebabkan karena istilah ini tidak menunjukkan sesuatu yang kongkret seperti istilah ekonomi, hukum, atau dokter misalnya. Filsafat secara eksplisit tidak menunjukkan keterkaitan dengan hal-hal tertentu secara langsung. Sesungguhnya, ilmu filsafat justru berhubungan dengan hal-hal yang bersifat konkrit dan langsung selain membicarakan hal yang abstrak. Artinya, meski tampaknya filsafat mempelajari hal-hal yang abstrak, tetapi sesungguhnya hal-hal tersebut merupakan hal-hal yang nyata dan diterapkan dalam kehidupan manusia. Hal tersebut akan sedikit dibuktikan melalui pemaparan mengenai 3 cabang ilmu filsafat yang akan kita bahas secara singkat berikut.

Logika, merupakan cabang ilmu filsafat yang membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan yang benar (Sunoto, 1985: 14). Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui adanya aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Logika dapat dikatakan sebagai cabang aksiologi atau ilmu yang menekankan kepada nilai benar atau salah. Melalui ilmu ini, kita diajarkan untuk berfikir secara runtut dan sistematik sehingga diharapkan dapat memperoleh kesimpulan yang tepat dan benar. Ilmu ini sangat berguna dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pengambilan keputusan, penyusunan rencana, atau menganalisa sesuatu, dengan berdasarkan pengetahuan dan kemampuan cara berpikir yang tepat melalui logika.

Etika, merupakan cabang ilmu filsafat yang membicarakan mengenai baik dan buruk. (Bertens, 2002:4) Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan. Filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) telah menggunakan istilah etika dalam menunjukkan filsafat moral. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) disebutkan mengenai definisi dari etika sebagai berikut; 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dari ketiga pengertian tersebut etika yang merupakan cabang keilmuan filsafat merupakan arti ke-1. Jadi, etika adalah ilmu tentang moralitas manusia.

Anwar (1980: 5) menyebutkan definisi mengenai estetika, yaitu secara teknis adalah ilmu tentang keindahan. Estetika sendiri berasal dari bahasa Yunani aesthesis yang berarti perasaan atau sensitivitas. Sachari (1989: 2) menyebutkan bahwa dari banyak pengertian estetika yang dirumuskan oleh pakar-pakar estetika, semuanya pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu hal-hal yang mempelajari tentang keindahan, baik sebagai obyek yang dapat disimak dari karya-karya seni, dari subyeknya, atau penciptanya yang berkaitan dengan proses kreatif dan filosofinya. Estetika merupakan cabang dari ilmu filsafat yang mempelajari tentang indah atau tidak indahnya sesuatu.

Dari ketiga definisi singkat mengenai cabang keilmuan filsafat Logika, Etika dan Estetika diatas, dapat kita kaitkan antar satu sama lainnya dalam lingkup filsafat. Keterkaitan antara ketiganya sesungguhnya cukup erat dan ini dapat dilihat dari beberapa hal yang mendasar. Pertama, ketiganya merupakan cabang filsafat yang artinya ketiganya memiliki sifat yang sama, yaitu deskriptif, kritik atau analitik, evaluatik atau normatif, spekulatif, dan sistematik. Ketiganya membahas tentang bagaimana menemukan kebenaran yang sesungguhnya dalam kehidupan manusia. Logika membahas tentang cara berpikir yang runtut dan sistematis yang mengarahkan kita untuk mengambil kesimpulan dengan benar dan menghindarkan kita akan pemahaman yang salah akan segala sesuatu. Etika membahas tentang apa yang baik dan apa yang buruk dari tingkah laku manusia dilihat dari moralitas (kebiasaan, adat). Sedangkan estetika membahas mengenai keindahan, dalam bentuk apapun juga baik itu secara materiil maupun immateriil.

Kedua, banyak ditemukan keterkaitan antar satu sama lainnya dimana ditemukan bahwa beberapa hal memang menjadi dasar bagi hal yang lainnya. Logika, ilmu yang mempelajari benar dan salah. Dalam etika, manusia dituntut untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Untuk bisa berpikir dengan tepat, memahami permasalahan yang dihadapinya berkaitan dengan moralitas, manusia harus bisa berpikir dengan benar dan mengambil keputusan yang tepat berdasarkan pemahaman yang benar akan segala sesuatunya. Dengan kata lain, logika sangat diperlukan dalam mendasari bagaimana seorang manusia memahami permasalahan moralitas yang dihadapinya. Seorang manusia dituntut untuk dapat berpikir secara benar untuk dapat bersikap dengan baik. Demikian pula dalam estetika, dimana subyeknya adalah tentang keindahan, mana yang indah dan mana yang tidak indah. Seorang manusia juga dituntut untuk dapat menggunakan pikirannya dengan benar, untuk dapat berpikir dengan tepat, sebelum manusia tersebut memutuskan mana yang indah dan mana yang tidak indah. Tanpa logika, seorang manusia tidak akan dapat membedakan dengan tepat mana yang indah atau tidak indah, atau mana yang baik dan mana yang buruk.

Estetika, dimana merupakan ilmu tentang keindahan, baik itu dari obyek yang dapat disimak maupun dari subyeknya, atau bahkan penciptanya (Sachari, 1989:2). Keindahan yang dimaksud sangat bermacam-macam. Mulai dari obyek, hingga cara berpikir indah. Disini dapat kita lihat bahwa estetika juga merupakan bagaimana seseorang itu memutuskan bagaimana yang disebut indah itu, sehingga otomatis akan tercermin pula pada bagaimana ia menilai hal lain, dan bagaimana ia bersikap dan berpenampilan. Bagaimana orang tersebut menentukan cara bertingkah laku yang baik atau buruk didasari dengan bagaimana orang tersebut membedakan antara mana yang indah dan mana yang tidak indah. (Poedjawiyatna, 1996:13) Penilaian tingkah laku seseorang berdasarkan indah tidaknya perilakunya disebut dengan penilaian estetis. Sebagian orang sering mengartikan bahwa orang yang bertingkah laku baik adalah orang yang berperilaku indah. Artinya, indah dan baik adalah 2 hal yang bernilai sama bahkan kadang dimaknakan sama. Dari penjabaran diatas dapat kita lihat beberapa keterkaitan yang cukup erat antara Logika, Etika, dan Estetika.

Referensi:

Anwar L.Ph., Wadjiz, 1980, Filsafat Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta.

Bertens, K., 2002, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Poedjawiyatna, Prof. Ir., 1996, Etika: Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta

Sachari, Agus, 1989, Estetika Terapan, NOVA, Bandung.

Sunoto, 1985, Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan Melalui Metafisika, Logika, Etika, PT. Hanindita, Yogyakarta.

1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

SEJARAH KOMIK INDONESIA (part 1)


Rahayu S. Hidayat (dalam M. Subarkah,1996) mengungkapkan bahwa keberadaan komik di Indonesia dapat ditelusuri dari cerita bergambar yang dapat ditemukan di gua-gua pedalaman Irian Jaya dan Kalimantan. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (1990 : 54), disebutkan bahwa cerita bergambar ini dapat dijumpai pada rangkaian panil-panil relief pada candi Prambanan dan candi Borobudur. Pada masa yang sama muncul wayang beber, karya ini bisa juga disebut komik, sebab gambar di dalamnya berisi cerita.

Komik Indonesia menurut Marcell Boneff (1998 : 20) muncul pertama kali pada tahun 1930 di surat kabar besar Sin Po, sebuah media komunikasi Cina peranakan berbahasa Melayu. Komik ini setiap minggunya memuat cerita jenaka karya Kho Wang Gie, disusul karyanya yang populer yaitu Put On pada tahun 1931. Kepopuleran Put On mengilhami komik-komik lain yang serupa seperti Si Tolol dan Oh Koen. Setelah itu tahun 1939 muncullah komik dengan gaya lain, yaitu gaya naturalis-realis karya Nasroen A.S. Mentjari Poetri Hidjau yang dimuat dalam majalah Ratoe Timoer.

Pada periode sekitar kemerdekaan, tepatnya pada masa pendudukan Jepang, komik ikut diarahkan pada kepentingan-kepentingan penjajah. Selain komik-komik strip Jepang, ada pula komik Indonesia seperti Embol Sarinem karya Sediadi. Pada perkembangan selanjutnya, revolusi kemerdekaan mempengaruhi tema komik-komik Indonesia. Kisah Pendoedoekan Jogja karya Abdoel Salam pada tahun 1950 adalah komik Indonesia pertama yang diterbitkan dalam bentuk buku. Pada periode ini, menurut Marcell Boneff (1998 : 23), muncul komik roman Cina-Melayu yang mengisahkan pengembaraan yang bersifat kepahlawanan, serial Sie Djin Koei karya Siauw Tik Kwie yang dimuat pada majalah Star Weekly pada tanggal 20 September 1952, merupakan pelopor komik jenis roman silat. Selanjutnya mulai banyak bermunculan komik dengan jenis format buku mengikuti komik Kisah Pendoedoekan Jogja karya Abdoel Salam, dan komik dengan bentuk komik berkala atau bersambung mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan.

Perkembangan berikut dari komik Indonesia adalah dengan mulai adanya komik-komik adaptasi dari komik luar seperti Sri Asih karya R.A. Kosasih pada tahun 1954, Putri Bintang karya John Lo, Kapten Bintang, Nina Gadis Rimba karya John Lo, Cempaka karya R.A. Kosasih, Luana karya Zam Nuldyn, dan lain-lain. Menurut Marcell Boneff (1998 : 27) pada tahun 1955, komik Indonesia mulai mengarah pada perjuangan kebudayaan dan kepribadian nasionalnya. Sehingga muncullah komik-komik wayang seperti Mahabharata dan Ramayana karya R.A. Kosasih sebagai pelopornya. Menjelang tahun 1960, tema komik mulai beralih ke cerita-cerita yang berasal dari dongeng atau legenda yang bersifat kedaerahan (1998 : 32).

Sejak jaman orde baru, komikus Indonesia harus bernaung pada organisasi seniman komik IKASTI (Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia). Pada tahun 1966 tema-tema komik mulai mengarah ke tema roman atau percintaan (Marcell Boneff 1998 : 40). Kemudian bermunculan pula komik dengan tema silat seperti Si Djampang karya Zaidin Wahab, atau Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes yang populer. Kemudian tahun 1980-an adalah tahun dimana dunia perkomikan di Indonesia dirajai oleh komik-komik adaptasi atau bahkan komik-komik impor terjemahan yang diambil dari Amerika seperti Tarzan, Rib Kirby, hingga Spiderman, Batman, Superman, atau The Titans.

KOMIK & PERKEMBANGANNYA DI DUNIA




Kata komik berasal dari kata comic, artinya adalah pelawak. Yang dimaksud dengan comical adalah lucu, menggelikan, kocak. Ensiklopedia Indonesia mengungkapkan istilah komik berasal dari kata dalam bahasa Perancis comique, diambil dari bahasa Yunani komikos. Sebagai kata sifat memiliki arti sebagai sesuatu yang lucu, menggelikan hati, sedangkan sebagai kata benda berarti pelawak. Komik pada awalnya mengacu pada cerita humoristis atau satiris untuk menghibur, dan pada perkembangannya komik berarti menjelaskan semua bagian gambar strip baik bernilai humor maupun tidak. Rusmadi (1990 : 57) mengungkapkan, komik adalah gambar atau kartun yang disusun pada sebuah ruang atau beberapa bagian menampilkan hal-hal yang lucu, maupun yang sifatnya menegangkan. Bentuk cerita ada yang pendek atau panjang, berupa drama atau petualangan.

Komik memiliki beberapa karakteristik tertentu, seperti bentuk balon kata yang mengelilingi kata atau dialog dan timbul dari tokoh yang bersangkutan. Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komik merupakan suatu cerita dalam bentuk gambar, yang dirangkai sedemikian rupa hingga mampu bercerita pada kolom-kolom, kadang dibantu dengan teks berupa narasi dan balon kata. Komik tidak hanya bercerita mengenai kisah jenaka saja, tetapi juga kisah petualangan, aksi pertarungan yang seru, percintaan, khayalan atau fantasi, dan ilmu pengetahuan.

Komik Luar Negeri

Semenjak jaman Paleolithikum di Eropa Barat ternyata sudah ditemukan adanya karya manusia berupa rangkaian gambar yang bercerita, yaitu gambar-gambar manusia yang sedang berburu binatang dan diletakkan di dinding-dinding gua. Kemudian pada jaman Mesir kuno, kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi, ditemukan gambar-gambar kartun menarik dibuat dari papirus.

Perkembangan komik modern yang pertama menurut Rusmadi (1990 : 60) adalah komik strip Max und Moritz yang satiris, penuh kelakar dan liar, ciptaan seorang berkebangsaan Jerman yaitu Wilhelm Busch (1832-1908) pada tahun 1870. Kreasi Busch ini kemudian mengilhami Rudolp Dirks dari Amerika Serikat untuk menciptakan The Katzenjammer Kids dengan tokohnya Hans dan Fits, dimuat pertama kali pada mingguan Journal pada 12 Desember 1897.

McKenzie (1987:10) mengungkapkan tentang sejarah komik yang pertama kali muncul di Eropa, kemudian berlanjut berkembang di Amerika Serikat. Periode komik di Amerika Serikat berlangsung sejak tahun 1890-an, dengan mulainya James Swinnerton dan Richard Falton Outcault merintis komik masuk surat kabar. Tahun 1892 seri Origin and the New Species karya Richard Falton Outcault dimuat dalam surat kabar World milik Joseph Pulitzer. Setelah itu Outcault menciptakan tokoh The Yellow Kid dalam Hogan’s Alley. Cerita gambar tunggal tersebut dimuat dalam surat kabar World mulai 16 Februari 1896, dan sejak pemuatan serial Yellow Kid ini, surat kabar ini menjadi laris. Kemudian perkembangan komik selanjutnya ada pada penambahan elemen-elemen tertentu seperti pada Happy Hooligan karya Frederick Burr Opper dengan memperkenalkan komik tiga panelnya, dan Rudolp Dirks dengan penambahan balon dialog dan panel yang berbentuk segi empat. Tahun 1907 Bud Fisher memulai karyanya dengan tokoh Mutt and Jeff, ialah orang pertama yang menyusun panel-panel tersebut menjadi petak berjajar (McKenzie, 1987 : 11). Selanjutnya, komik mulai diterbitkan dalam bentuk berwarna kemudian dibukukan dan terbit bersamaan dengan surat kabar edisi hari Minggu.

Menurut McKenzie (1987 : 10), periode kedua dari perkembangan komik adalah dimulai pada tahun 1914 yang sering juga disebut sebagai jaman keemasan komik, yaitu ditandai dengan mulai bermunculannya sindikat-sindikat komik berjaringan luas yang diciptakan untuk mengatur lebih jauh lagi tentang keberadaan komik, termasuk di dalamnya masalah hak cipta, penerbitan dan distribusinya. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh William Randolph Hearst pada tahun 1912 dengan sindikatnya yaitu King Features Syndicate, juga sindikat-sindikat lain seperti New York Daily Combine milik surat kabar Chicago Tribune, United Features Syndicate dan Hall Syndicate. Pada masa ini, komik mulai dipandang sebagai suatu usaha menguntungkan sehingga hampir semua surat kabar memuat komik.

Komik-komik yang pada mulanya hanya menampilkan tema cerita-cerita humor, mulai berkembang ke tema cerita fantasi, petualangan, action, dan cerita-cerita yang lebih serius. Misalnya cerita fantasi Little Nemo in Slumber Land karya Winsor McCay, cerita kehidupan tradisional Amerika Little Orphan Annie karya Harold Gray, cerita action Terry and the Pirates karya Milton Caniff, Dick Tracy karya Chester Gould, dan petualangan di rimba raya Afrika Tarzan karya Harold Foster. Setelah itu baru muncullah jenis komik dengan tema khayalan ilmiah lewat tokoh Flash Gordon karya Alex Raymond pada tahun 1934 dengan disusul komik-komik jenis serupa lainnya.

Berbagai perusahaan komik besar mulai berkembang dengan pesat di Amerika dengan tokoh-tokoh superhero yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Seperti DC Comic dengan tokoh superiornya Superman, Batman, Wonder Woman, the Titans, Fantastic Four, atau Marvel Comic dengan tokoh-tokohnya seperti X-Men, Spiderman, The Hulk, Blade, Dare Devil, yang bahkan salah satu komikus di Marvel melepaskan diri dan mendirikan perusahaan besar komik sendiri yaitu Todd McFarlane dengan Image Comic yang melahirkan tokoh Spawn dan Witch Blade.

Komik berkembang demikian cepatnya di Amerika hingga merambah dunia perfilman Hollywood. Pengangkatan tokoh komik ke layar lebar dipelopori oleh Tarzan, Superman, dan Dick Tracy. Setelah itu barulah tokoh-tokoh lain mulai diangkat satu persatu dan merajai film fiksi di layar lebar. Seperti Batman, X-Men, Blade, Spawn, Dare Devil, Spiderman, dan lain sebagainya. Perkembangan komiknya sendiri hingga kini masih terus dikembangkan dan terus melahirkan komik dengan tokoh-tokoh baru yang siap mengikuti kesuksesan pendahulunya.

Bagaimana dengan komik Indonesia?


KOMIK SEBAGAI SALAH SATU MEDIA KOMUNIKASI

Komik merupakan salah satu karya desain dua dimensi yang terdiri dari susunan gambar yang dominan dan tulisan sebagai pelengkap. Keberadaan komik di dunia sebenarnya sudah ada sejak adanya gambar-gambar bercerita yang dilukis secara berurutan di dinding-dinding gua jaman dahulu yang bercerita mengenai perburuan manusia. Namun perkembangan komik dalam artian yang sudah dapat dipahami sebagai komik modern seperti saat ini baru dapat dilihat dari pemunculannya di Eropa sekitar tahun akhir abad 18. Seiring pertumbuhannya, komik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia dan melalui caranya yang khas, komik memiliki pengaruh yang cukup kuat sebagai media komunikasi massa dengan kemampuannya dalam membawakan pesan dan mengarahkan pembacanya dalam berpikir, berimajinasi, dan bahkan berperilaku.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam berkomunikasi, salah satu unsur yang paling dominan membentuk persepsi sehingga manusia mampu menangkap pesan adalah visualisasi / bentuk yang dapat terlihat oleh mata. Komunikasi melalui tatap muka langsung adalah cara berkomunikasi yang lebih baik dalam hal penyampaian tujuan daripada berkomunikasi secara tidak langsung. Hal pertama yang dilakukan oleh seorang manusia ketika berkomunikasi secara langsung adalah melihat melalui mata, untuk kemudian merekam bentuk-bentuk yang dilihatnya dan dengan bebasnya berimajinasi melalui alam pikirannya yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh kepribadiannya, lingkungan dimana ia hidup, serta pengalaman hidupnya. Barulah kemudian unsur-unsur lain yang menyertai bentuk visual menyusul dan membentuk persepsi tadi menuju satu persepsi tertentu yang mungkin lebih spesifik.

Bahasa gambar, merupakan salah satu media komunikasi yang paling komunikatif dibandingkan bentuk-bentuk media yang lain seperti tulisan maupun suara. Gambar adalah unsur utama / pokok yang sangat kaya dan sangat tidak terbatas. Bentuk dari tulisan adalah gambar-gambar tertentu yang sudah disepakati bersama sebagai bentuk simbol yang artinya sudah diseragamkan. Ini adalah salah satu bukti betapa gambar sebagai media yang sangat kaya, tidak terbatas, dan mampu merubah fungsinya melalui berbagai bentuk. Untuk selanjutnya, akan dibicarakan mengenai gambar sebagai bentuk visual tersendiri selain tulisan.

Komik, dengan cirinya yang khas yaitu konsep cerita melalui gambar-gambar dan tulisan sebagai pelengkap, dalam perjalanannya mampu terus bertahan bahkan terus berkembang mengiringi kemajuan peradaban manusia. Komik mampu menarik perhatian konsumen pembaca melalui bahasa gambar yang mudah untuk dipahami dan diingat karena pendekatan yang diterapkan dalam konsep komik adalah konsep visual tanpa kaidah-kaidah ketat tertentu dan sudah menjadi bahasa sejak manusia diciptakan. Bahasa gambar (baik dua dimensi maupun tiga dimensi) adalah bahasa yang paling akrab sehingga proses penterjemahannya mudah.

Konsep komik yang sangat universal tersebut memungkinkan komik untuk dapat menembus berbagai lapisan / batasan yang sekiranya media lain tidak bisa semudah itu dapat menembusnya. Komik dapat dengan mudahnya masuk ke berbagai negara, daerah, tanpa mengalami banyak kesulitan yang berarti. Pesan-pesan yang dibawanya dapat dengan mudah masuk dan diterjemahkan melalui bahasa visual.

Dewasa ini perkembangan komik sudah menjadi sedemikian pesatnya apabila ditinjau dari bentuk visual yang didukung oleh kecanggihan teknologi manusia, khususnya melalui perangkat elektronik yaitu komputer. Komputer mampu mewujudkan imajinasi manusia melalui kecanggihannya tanpa batas yang berarti. Software / perangkat lunak untuk membantu mempermudah proses perwujudan karya gambar dua dimensi sudah semakin banyak digunakan dan bahkan dalam kenyataannya sudah mendominasi proses pembuatan komik moderen.

POSISI DESAIN DALAM ESTETIKA


“Ciri-ciri manusia Indonesia adalah mahluk yang artistik, manusia yang gandrung keindahan dan berpikir dengan rasa” (Muchtar Lubis).


Sebelum kita membahas mengenai dimana letak desain sesungguhnya dalam ilmu estetika, ada baiknya kita sedikit mengawali dengan memahami terlebih dahulu definisi-definisi yang telah ada mengenai keduanya. Anwar (1980: 5) menyebutkan definisi mengenai estetika, yaitu secara teknis adalah ilmu tentang keindahan. Estetika sendiri berasal dari bahasa Yunani aesthesis yang berarti perasaan atau sensitivitas. Sachari (1989: 2) menyebutkan bahwa dari banyak pengertian estetika yang dirumuskan oleh pakar-pakar estetika, semuanya pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu hal-hal yang mempelajari tentang keindahan, baik sebagai obyek yang dapat disimak dari karya-karya seni, dari subyeknya, atau penciptanya yang berkaitan dengan proses kreatif dan filosofinya. Mereka sepakat bahwa estetika secara garis besar terbagi menjadi 3 bagian pemahaman, yaitu filsafat, teori, dan ilmu yang berkaitan dengan keindahan seni.

Kebanyakan orang berasumsi bahwa estetika identik dengan seni. Sutrisno (1999: 134-135) menyebutkan bahwa estetika atau ilmu filsafat estetika sendiri terbagi menjadi dua bidang, yaitu filsafat estetika dan filsafat kesenian sendiri. Filsafat estetika adalah teori estetika dimana didefinisikan sebagai ilmu mengenai sikap estetis terhadap obyek-obyek estetis dimana terjadi suatu pengalaman estetis. Sedangkan filsafat kesenian menjelaskan tentang teori seni tentang asal usul dan sub-sub konsep seni (teori sastra, musik, desain, dll.) dimana keduanya bergantung pada pengertian/pemahaman mengenai karya-karya seni (sehingga memunculkan lingkup estetika berikutnya yaitu kritik seni).

Desain berasal dari bahasa italia designo yang artinya gambar. Desain merupakan susunan garis atau bentuk yang menyempurnakan kerja “seni” dengan memberikan penekanan khusus pada aspek proporsi, struktur, gerak, dan keindahan secara terpadu. Dalam seni, desain terletak pada lingkup seni terapan (Encyclopedia Britanica, 1956: 259).

Dalam Sachari (1989: 55) jelas disebutkan dimana letak sesungguhnya desain dalam ilmu estetika. Dimensi estetika terbagi menjadi 5 kategori, sebagai berikut:

1. Estetika Murni, yaitu terdiri dari ungkapan estetik dan kesadaran estetik.

2. Estetika Terapan, yaitu terdiri dari unsur karya seni dan unsur desain.

3. Estetika Massa, yaitu terdiri dari orientasi selera dan orientasi gaya hidup.

4. Estetika Agama, yaitu unsur kesempurnaan ibadat dan unsur harapan surga.

5. Estetika Alam, yaitu fenomena yang menggetarkan dan realitas yang menakjubkan

Dari penjabaran di atas dapat kita ketahui bersama bahwa desain sesungguhnya termasuk dalam kategori estetika terapan, bersama dengan karya seni. Sedikit berbeda dengan pemahaman beberapa pakar lainnya yang menempatkan desain sebagai seni terapan. Karena di sini desain dibahas dalam lingkup ilmu estetika secara global dan bukan secara filosofis. Sachari kemudian menjelaskan (1989: 82) bahwa seniman menciptakan karya-karya seni seperti lukisan, patung dan lain sebagainya semata-mata merupakan ekspresi subyektifitas dimana baru kemudian dapat berkembang memiliki pertimbangan ekonomis. Seniman menerapkan ilmu estetika dengan pertimbangan tujuan estetik secara pribadi. Sedangkan seorang desainer mempertimbangkan berbagai aspek seperti faktor ekonomi, kepraktisan, nilai guna dengan menggunakan substansi dasar ilmu estetika atau keindahan. Sebagaimana yang diungkapkan Muchtar Lubis di atas, estetika dalam desain digunakan sebagai daya pikat agar konsumen terjerat untuk membeli. Konsumen yang gandrung keindahan melalui mode yang setiap saat selalu berganti merupakan pasar empuk bagi desainer. Perkembangan ilmu estetika dewasa ini begitu luasnya seiring perkembangan kebudayaan manusia.

Sachari (1989: 70) menyebutkan mengenai gelombang estetis baru yaitu estetika informasi. Jika jaman dahulu media untuk menikmati obyek estetis sangatlah terbatas, maka sekarang media obyek estetis tersebut telah dikembangkan oleh media informasi. Media saat ini yang paling populer contohnya adalah televisi, radio, fotografi, majalah, surat kabar, komputer, film, video, dan lain sebagainya. Komposisi-komposisi yang estetis dari belahan lain penjuru dunia dapat kita nikmati dalam sekejab, praktis dan ekonomis, sehingga dapat memperluas persepsi kita akan konsep keindahan secara global. Pada akhirnya ia akan menjadi unsur yang dapat mempengaruhi pola tingkah laku dalam pengambilan keputusan estetik dalam masyarakat luas.

Posisi desain dalam ilmu estetika merupakan ruang lingkup baru yang kian lama kian berkembang seiring perkembangan kebudayaan manusia. Namun sesungguhnya konsep dasar desain sendiri telah ada sejak diciptakannya obyek estetis. Konsep dasar desain adalah sesungguhnya pada bagaimana karya desain dapat memiliki nilai atau pengaruh. Jadi, apabila lebih dipahami sebagai hasil dan bukan pada prosesnya, maka karya seni dan semua obyek estetis lainnya tentunya merupakan sebuah karya desain yang memiliki konsumen sendiri-sendiri yang tentunya dikatakan karya desain yang “berhasil” apabila konsumen atau pangsa pasarnya sangat mengagumi keindahannya. Terlepas dari bagaimana si penikmat menyikapi rasa keterkagumannya tersebut (entah hanya akan melihat dan berdecak kagum saja atau berniat memilikinya), konsep awal desain dapat dipahami di sini. Sedangkan teorisasi tentang desain sendiri merupakan hanyalah sebuah usaha mempermudah pendefinisian sebuah ilmu pengetahuan yang telah berkembang.



Referensi:

Sachari, Agus, 1989, Estetika Terapan, NOVA, Bandung.

Sutrisno SJ., Mudji, 1999, Kisi-Kisi Estetika, Kanisius, Yogyakarta.

Anwar L.Ph., Wadjiz, 1980, Filsafat Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta.

Encyclopedia Britannica. Volume 7. 1956. Encyclopedia Britannica Inc. USA, Hlm 259.

PENTINGNYA BAHASA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL


Sebelum kita masuk pada keterkaitan antara bahasa dengan desain komunikasi visual, terlebih dahulu akan dibicarakan tentang pengertian atau kajian mengenai masing-masingnya. Pada kajian tentang apa yang disebut bahasa; maka pertama kita lihat pengertian bahasa yang terdapat pada kamus besar bahasa Indonesia. Bahasa adalah lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dalam pengertian bahasa diatas, disebutkan bahwa sistem bahasa terbentuk dari kesepakatan masyarakat yang berlaku dan akan ditaati bersama. Jadi, ada satu bentuk kesepakatan yang secara garis besar terdiri dari bahasa lokal dan bahasa universal, dimana tiap-tiapnya terbagi juga menjadi bahasa lisan, tulisan, dan isyarat. Bentuk bahasa yang beraneka ragam ini terdapat pada berbagai macam masyarakat di dunia, dengan cirinya masing-masing. Diatas itu semua, terdapat bentuk bahasa yang digunakan oleh lingkup masyarakat yang lebih luas, dan yang lebih luas lagi. Berbagai tingkatan bahasa tersebut digunakan menurut kebutuhan dari pihak yang ingin berkomunikasi. Jadi, ada tingkatan bahasa tertentu yang baik itu langsung maupun tidak langsung telah disepakati bersama digunakan, dan apabila keluar dari lingkaran kesepakatan maka berarti tidak akan ada atau sulitnya terjalin komunikasi.

Proses tercapainya suatu komunikasi antar manusia terletak pada apa yang bisa mengantar maksud dari pihak yang melakukan aksi, dalam hal inilah peranan bahasa mendominasi total. Dalam aplikasinya nanti, bagaimana bahasa itu melakukan tugasnya, manusia sebagai pengguna dan pencipta bahasa adalah pihak yang tunduk sekaligus pada pihak yang berkuasa penuh/otoriter. Manusia yang tunduk pada peraturan-peraturan bahasa mungkin tidak akan terlalu merasakan dimana posisinya mengingat bahasa sudah menyatu pada diri manusia sejak lahir. Sedangkan pada penguasaan penuh bahasa, manusia mampu melakukan manipulasi/rekayasa melalui kemampuan bahasa sebagai alat komunikasi. Atas dasar keinginan tertentu, melalui cara-cara tersendiri bahasa dapat digunakan sebagai pemermudah pancapaiannya. Bagaimana manusia itu dapat memaksimalkan kemampuannya dalam penguasaan komunikasi, akan sangat mempengaruhi kehebatan bahasa membawa keinginannya terwujud. Dalam posisinya yang sangat penting ini, bahasa merupakan faktor penting yang dikaji manusia dalam bidang ilmu desain komunikasi visual. Desain komunikasi visual adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang kegiatan perancangan suatu grafis tertentu sehingga hasil rancangan tersebut mampu dengan praktis dan efisien membuat tujuan pihak yang merancang tercapai. Melihat bagaimana pentingnya sesuatu yang dapat mengantar suatu tujuan melalui komunikasi sehingga tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik, maka bahasa memegang peranan yang utama. Dengan kemampuan manusia dalam memaksimalkan kemampuan dirinya untuk mewujudkan keinginannya, maka kegiatan memanipulasi melalui bahasa akan diaplikasikannya. Bahasa memegang kunci utama bagaimana seorang desainer menyelesaikan tugasnya dengan baik atau dengan buruk.

Dalam penjabarannya secara singkat, diketemukan bahwa bahasa bagi seorang desainer adalah vital. Pada satu kasus, desainer akan berhadapan dengan tugas yang membawanya menuju keharusan mencari tingkat bahasa yang paling tepat, dan kemudian memanipulasinya menjadi lebih mudah lagi bertahan dan bertindak, dalam suatu area tertentu yang telah memiliki ciri sosialnya sendiri-sendiri. Hal ini akan mendekatkan seorang desainer dengan obyek yang dihadapinya dan otomatis dengan yang lebih lancar, suatu tujuan akan lebih mudah lagi tercapai. Pemahaman yang mendalam tentang suatu obyek utama pada suatu kasus, akan melahirkan langkah-langkah yang yang teliti, terancang, tepat, dan cerdas dari seorang desainer dalam bertindak dan berimprovisasi. Tujuan utama seorang desainer akan tercapai melalui “percakapan” yang memiliki bobot pemahaman yang tinggi. Dan bagaimana sebuah manipulasi berjalan, itu akan mengalir mengikuti proses kreatif dari bagaimana desainer berkomunikasi melalui bahasa yang tepat dengan konsumen. Dari sinilah mungkin dapat sedikit dipahami betapa vitalnya unsur bahasa pada bidang ilmu desain komunikasi visual. Sedemikian pentingnya hingga dituntut satu kompetensi yang tinggi pada pemahaman akan bahasa pada bidang ilmu desain komunikasi visual.

ESTETIKA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL



Kata desain berasal dari bahasa Italia designo yang artinya gambar. Desain merupakan susunan garis atau bentuk yang menyempurnakan kerja “seni” dengan memberikan penekanan khusus pada aspek proporsi, struktur, gerak, dan keindahan secara terpadu (Encyclopedia Britanica, 1956: 259).


Berdasarkan pengertian tersebut, bisa dipahami bahwa desain termasuk seni yang bergerak dalam lingkup gambar, tetapi kemudian dikembangkan lagi menjadi seni yang “diatur” sedemikian rupa melalui aspek-aspek gambarnya. Aspek tersebut adalah proporsi, struktur, gerak, dan keindahan. Aspek yang terakhir adalah keindahan dimana ilmu yang mempelajari keindahan disebut estetika (Anwar, 1980:5). Dari sini disimpulkan bahwa estetika termasuk ilmu yang mempelajari mengenai salah satu aspek dari desain yaitu keindahan. Jelas hal ini menunjukkan keterkaitan erat antara estetika atau ilmu yang mempelajari tentang keindahan dengan desain.

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mengembangkan bentuk bahasa komunikasi visual berupa pengolahan pesan pesan untuk tujuan sosial atau komersial, dari individu atau kelompok yang ditujukan kepada individu atau kelompok lainnya. Pesan dapat berupa informasi produk, jasa atau gagasan yang disampaikan kepada target audience, dalam upaya peningkatan usaha penjualan, peningkatan citra dan publikasi program pemerintah. Pada prinsipnya desain komunikasi visual adalah perancangan untruk menyampaikan pola pikir dari penyampaian pesan kepada penerima pesan, berupa bentuk visual yang komunikatif, efektif, efisien dan tepat. terpola dan terpadu serta estetis, melalui media tertentu sehingga dapat mengubah sikap positif sasaran. Elemen desain komunikasi visual adalah gambar/ foto, huruf, warna dan tata letak dalam berbagai media. baik media cetak, massa, elektronika maupun audio visual (www.cybermediacollege.net.id).

Dalam desain komunikasi visual, terdapat 2 prinsip yang menjadi landasannya. Yang pertama, adalah ilmu ini tujuan utamanya adalah penyampaian pesan baik sosial atau komersial kepada kelompok tertentu. Prinsip pertama ini merupakan prinsip yang bisa dipahami sebagai faktor internal yang berupa nilai-nilai atau tujuan tertentu. Prinsip yang kedua adalah penyampaian pesan tersebut dicapai dengan cara-cara visual atau gambar. Prinsip yang kedua inilah yang merupakan prinsip dimana faktor keindahan atau ilmu estetika diperlukan.

Susunan gambar yang dibuat tentu saja harus diatur sedemikian rupa supaya susunan gambar tersebut selain indah juga harus dapat menyampaikan maksud si pembuat untuk menyampaikan pesan-pesan tadi. Dengan kata lain, penyusunan gambar dibuat dengan mempertimbangkan banyak faktor selain indah saja. Seperti yang telah dijelaskan di awal essay ini, seni gambar yang dikembangkan lagi menjadi seni gambar yang “diatur” disebut desain. Kegiatan desain dalam ilmu desain komunikasi visual harus mempertimbangkan beberapa faktor, misalnya selain indah atau estetis, desainer juga harus mempertimbangkan apakah karya desainnya akan disukai oleh obyek dari pesan yang dibawa karya desain tersebut.

Sebagai contoh, misalnya desainer akan membuat sebuah desain untuk iklan produk susu bayi, dengan tujuan komersil agar produk tersebut laku sebanyak mungkin di pasaran. Siapa pasarnya? Tentu saja orang tua yang dispesifikkan pada sang ibu, karena orang tua atau ibulah yang menentukan susu apa yang paling “pantas” diberikan untuk anaknya yang masih bayi, dan bukan bayinya yang menentukan. Desainer harus memiliki data tentang hal-hal apa saja yang diharapkan orang tua dalam memilih susu bayi. Kemudian unsur-unsur visual yang seperti apa yang umumnya disukai oleh mereka, seperti warna apa, proporsi seperti apa, dan lain sebagainya. Data-data inilah yang nantinya digunakan desainer dalam mendesain karya visual mereka agar dapat menjadi karya yang efektif dan estetis. Selain faktor-faktor diatas, sebenarnya masih banyak faktor-faktor lain yang harus ikut dipertimbangkan desainer. Seperti timing atau waktu peluncuran iklan, kepraktisan karya desain dari segi ekonomis, dan lain sebagainya.

Unsur estetis sebenarnya adalah landasan bagi visualisasi desain tersebut agar dapat secara efektif menyampaikan pesan-pesannya. Bagaimanapun atau siapapun target audiens dari karya desain tersebut, tetap harus berada di payung besar estetika. Karena pada umumnya, setiap orang pasti suka dan tertarik dengan sesuatu yang indah. Bagaimana kriteria keindahan secara lebih spesifik masing-masing kelompok tersebut, nantinya akan dipelajari lagi oleh sang desainer.

Unsur estetis ini sebenarnya mungkin merupakan satu-satunya unsur yang berkembang pesat di desain komunikasi visual. Dalam perjalanan waktu, faktor komunikasi tidak mengalami begitu banyak perubahan. Misalnya, sebuah kalender tetap difungsikan untuk menyampaikan pesan tanggal, sebuah iklan produk komersial tetap digunakan untuk menggugah motivasi membeli atau melakukan kegiatan tertentu. Perubahan yang paling drastis sesungguhnya sangat terlihat di wilayah estetika visual. Estetika sebagai ‘segala sesuatu yang berhubungan dengan keindahan, dan penginderaan’ ini sudah sejak lama menjadi senjata utama dari proses komunikasi massal.

Rekayasa estetika, menjadi bagian penting, bahkan dianjurkan bagi setiap organisasi dalam mengkomunikasikan diri dan produknya. Dalam rekayasa estetika kita bisa temukan pola-pola dalam memotivasi seseorang untuk melakukan apa yang diinginkan proses komunikasi melalui sensasi sensasi inderawi. Rekayasa esetetika, seperti yang dikatakan Bernd Schmitt dan Alex Simonson dalam bukunya Marketing Aesthetic, adalah cara-cara untuk memicu munculnya nilai-nilai konsumer di benak konsumen, yang hanya akan muncul bila kedahagaan konsumen akan estetika dapat terpuaskan. Dalam perkembangannya, unsur estetika ini berkembang menjadi sesuatu yang membuat kita terpana melalui kecanggihan teknologi. Unsur ini didukung oleh alat hasil perkembangan teknologi yang disebut dengan komputer. Melalui alat ini, keindahan visual yang pada awalnya dahulu akan terasa begitu sulitnya dicapai, bisa dengan mudah dibuat dengan bantuan komputer. Bahkan bisa lebih lagi. Sensasi-sensasi permukaan ini membuat kita cenderung tidak lagi tertarik kepada makna pesan yang sifatnya internal atau nilai-nilai ideologis.

Sebagian besar konsumen kemudian akan menilai keberhasilannya hanya berdasarkan ‘indah’ atau ‘tidak indah’nya sebuah permukaan visual disusun. Demikian pula sang kreator. Alih-alih berusaha membuat metafora atau permainan makna internal, sang desainer berpesta dengan efek, Clip-Art, huruf, dan efek-efek yang sudah tersiapkan. Gejala ini terutama terjadi pada karya-karya desain yang diperuntukkan dan mungkin dibuat orang-orang di negara yang masih haus akan keindahan efek-efek yang bisa diciptakan dengan bantuan komputer. Karya-karya tersebut cenderung menampilkan visualisasi yang penuh dengan keindahan warna, imajinasi, dan efek-efek yang akan cukup sulit diciptakan melalui kuas dan cat warna saja, tanpa memfokuskan pada dampak atau tujuan utama.

Meskipun ada pula beberapa karya desain yang sudah tidak sibuk bermain dengan segala efek komputer dan mulai menunjukkan fokusnya pada bagaimana dampak yang diharapkan. Contohnya, desain iklan rokok A Mild dan mungkin juga beberapa produk rokok lain, sudah tidak “boros” dengan berbagai keindahan efek yang bisa diciptakan oleh komputer. Warna background putih polos dan luas, kemudian meletakkan jam weker dengan palu dan beberapa kata dengan bentuk font yang sederhana, adalah salah satu contoh desain untuk produk rokok A Mild. Sekilas kita akan melihat suguhan visual yang sederhana, dimana hampir semua desainer bisa membuat bentuk visual seperti itu dengan mudahnya bahkan melalui kuas dan cat warna saja.

Apabila kita melihat beberapa hal yang menyertainya, yaitu bahwa produk yang diiklankan adalah produk rokok A Mild yang notabene merupakan salah satu produk yang paling banyak digemari oleh pemuda di Indonesia, dan bagaimana iklan tersebut bisa bertahan begitu lama dengan beberapa parade iklannya yang sejenis, maka bisa kita simpulkan bahwa iklan dengan visualisasi sederhana tadi cukup efektif atau tepat sasaran. Bagaimana bisa? Lha wong sederhana gitu? Bukti sederhana yang telah disebutkan tadi telah membuktikan bahwa hal tersebut bisa, selama masih dalam lingkup keilmuan estetika. Meski sederhana, tidak berarti karya tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai karya desain. Komposisinya seimbang, pemilihan warna sesuai dengan unsur yang lain, emphasis tercapai, bahkan pemilihan bentuk hurufnya meski sederhana tetapi mudah dibaca dan peletakkannya sesuai dengan konposisi keseluruhan.

Dalam komunikasi dan kreasi, yang penting adalah dampaknya. Bagaimana penerima pesan menerima dan melakukan tujuan-tujuan yang dikehendaki tentulah tidak tergantung dari seberapa banyak special effect yang dipakai, atau berapa jam yang dihabiskan waktu didepan komputer. Komunikator atau kreator adalah orang yang berusaha mengambil intisari dari keteraturan, dan chaos, dari kebebasan dan nihilisme, dan berusaha berkonsentrasi pada dampaknya (Papanek dalam Ilmansyah, 2004:5).

Dalam dunia desain komunikasi visual, yang terpenting adalah desainer harus memegang dua prinsip utama yang telah disebutkan di atas tadi. Ia harus memastikan dua prinsip tersebut berjalan seiring dan tidak membuat yang satu lebih penting dari yang lain. Pesan harus disampaikan melalui visual yang tepat. Jadi, sebenarnya sebanyak apapun efek komputer yang digunakan, selama pesan bisa tersampaikan dengan tepat dan efektif, maka hal itu sah-sah saja. Jangan sampai desainer terlalu fokus dan asyik pada visual, sedangkan visual tersebut dapat mengurangi keefektifan penyampaian pesan bahkan tidak efektif sama sekali sehingga visual tersebut tidak menjalankan fungsinya sebagai penyampai pesan. Keindahan hanyalah digunakan sebagai alat untuk dapat menyampaikan pesan secara efektif. Apabila tidak efektif, maka keindahan tersebut tidak dapat digunakan. Di sinilah letak estetika dalam dunia desain komunikasi visual.


Referensi:

www.cybermediacollege.net.id/ Desain Komunikasi Visual/ diakses tanggal 17 April 2004.

Anwar L.Ph., Wadjiz, 1980, Filsafat Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta.

Encyclopedia Britannica. Volume 7. 1956. Encyclopedia Britannica Inc. USA, Hlm 259.

Ilmansyah, Fahmi, Desain Grafis Kita Diantara Kungkungan Proses Perancangan Berbasis Komputer, DKV FDS, 2004.

Papanek, Victor, The Green Imperative, Thames and Hudson, London, 1995.

Schmitt, Bernd, dan Alex Simonson, Marketing Aesthetics, Free Press, New York, 1997.